BRAGA SEBAGAI PUSAT PERDAGANGAN BANDUNG TEMPO DULU
Iwan Hermawan
(Diterbitkan dalam buku "Perdagangan dan Pertukaran : Masa Prasejarah - Kolonial" Penerbit : Alqaprint - Jatinangor, 2010).
(Persimpangan Jalan Braga - Naripan, 2010)
Abstract (Diterbitkan dalam buku "Perdagangan dan Pertukaran : Masa Prasejarah - Kolonial" Penerbit : Alqaprint - Jatinangor, 2010).
(Persimpangan Jalan Braga - Naripan, 2010)
De groote postweg and the railway has made Bandung in strategic positions in the Netherland East Indies. The growth of Population and Economic were moving up from time to time, including the number of population of European descent.
The increasing number of people of European descent had encourage governments of Gemeente Bandung to make the Braga road as a special shopping area for the residents of European descent in other to they were not mix with the indigenous population. For this reason, the construction of shops on the Braga street arranged to resemble a shopping area in the Netherlands. Braga's face changed from street carts had being a face of Bandung.
Kata Kunci :
Bragaweg, Karrenweg, Pusat Komersial, Bandung.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan perekonomian Bandung telah dimulai sejak awal abad ke-18, jauh sebelum Gubernur Jenderal H. W. Daendels (1808-1811) memimpin Pemerintahan Kolonial di Hindia Belanda dan membangun Jalan Raya Pos yang membentang sepanjang Pesisir Utara Pulau Jawa dari Anyer hingga Panarukan. Dimulai pada tahun 1712, Abraham van Riebeek mendarat di Pelabuhanratu (Wijnkoopsbaai) dengan membawa benih tanaman Kopi untuk dibudidayakan. Selain itu, pada tahun 1713 van Riebeek juga mendaki Gunung Papandayan dan Gunung Tangkubanparahu guna mencari belerang (Sulphur) yang merupakan bahan baku bubuk mesiu, usaha yang ditekuninya disamping perkebunan kopi. Baru pada tahun 1742 tiga orang bangsa kulit putih secara resmi datang dan menetap di Bandung setelah sebelumnya pada tahun 1741 Belanda secara resmi menugaskan Kopral Arie Top sebagai pengurus keamanan di Tatar Ukur. Ketiga orang tersebut, adalah kakak beradik Ronde dan Jan Geysbergen serta seorang tentara buangan dari Batavia. Dalam waktu singkat mereka menjadi orang sukses di tanah pembuangan, karena mereka berhasil membuka hutan dan berkebun serta mengelola penggergajian kayu (Kunto, 1984:9-11). Keberhasilan tersebut telah mendorong orang-orang untuk datang dan melakukan usaha di Bandung.
Pembangunan Jalan Raya Pos pada awalnya ditujukan untuk kepentingan militer, pada perkembangan berikutnya semakin memperkuat posisi perekonomian kota-kota yang dilaluinya, termasuk Bandung. Dampak positif dirasakan Bandung dari keberadaan jalan Raya Pos tersebut. Secara geografis, posisi Bandung semakin strategis di mata pemerintah kolonial Belanda pasca diresmikannya Jalan Raya Pos. Posisi tersebut semakin kuat menyusul dibukanya jalur kereta api Batavia–Bandung melalui Bogor–Sukabumi-Cianjur dan jalur kereta api Batavia–Bandung melalui Purwakarta yang dibuka kemudian.
Pembukaan jalur transportasi Bandung–Batavia semakin memudahkan hubungan kedua kota dan kondisi ini mendorong semakin cepatnya pergerakan roda perekonomian di Bandung. Sampai pertengahan abad ke-18, perjalanan dari Batavia ke pedalaman Priangan dilakukan dengan menggunakan rakit atau perahu melewati Sungai Citarum atau Cimanuk. Menurut catatan perjalanan yang ditemukan E.C.G. Molsbergen (1935), baru pada tahun 1786 jalan setapak yang dapat dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia–Bogor–Cianjur–Bandung. Jalur tersebut memiliki arti penting bagi kepentingan perekonomian kompeni Belanda, sebab pada tahun 1789 Pieter Engelhard telah membuka perkebunan kopi di lereng selatan Gunung Tangkubanparahu. Hasil tanaman kopi tersebut memberi panen yang sangat memuaskan pada tahun 1807 (Kunto, 1984:11).
Pesatnya pembangunan Bandung telah mendorong perubahan dalam pengelolaan wilayah. Pada tahun 1864 selain sebagai kabupaten, Bandung secara resmi menjadi Ibukota Karesidenan Priangan menggantikan Cianjur. Peningkatan status pemerintahan Bandung kembali terjadi yaitu menjadi Kotapraja (Gemeente) pada tanggal 1 April 1906 dan terus meningkat hingga menjadi Stadsgemeente pada tanggal 1 Oktober 1926. Dengan status baru tersebut, Bandung diberi wewenang mengelola dan mengurus pemerintahannya sendiri (Kunto, 1986:122; Hardjasaputra, 2000:128).
Keberadaan Jalan Braga tidak terlepas dari keberhasilan pengembangan tanaman kopi di Dataran Tinggi Bandung pada masa tanam paksa (1830-1870). Ruas jalan yang panjangnya sekitar 700 meter ini merupakan akses penghubung antara Jalan Raya Pos dengan Gudang Kopi milik Andries de Wilde yang kemudian ditingkatkan fungsinya menjadi tempat pelelangan kopi (coffe per house). Setiap transaksi yang berlangsung di rumah pelelangan, barangnya akan langsung dikirim melalui Kantor Pos yang letaknya di tepi jalan raya Pos, tidak jauh dari Tempat Pelelanagn Kopi. Karena ruas jalan ini hanya dapat dilalui oleh pedati, maka jalan ini terkenal dengan nama Jalan Pedati atau Karrenweg (Sunarwiboro, 2010).
Semenjak akhir abad ke-19, Kawasan Karrenweg berkembang menjadi kawasan komersial paling bergengsi di Bandung. Hal ini tidak terlepas dari aktifitas para pengusaha perkebunan (preangerplanter) yang datang dari berbagai perkebunan di sekitar Bandung. Pada akhir pekan para Preangerplanter datang ke Bandung untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan mencari hiburan (Kunto, 1984; Suganda, 2008; Harastoeti, 2010; Sunarwibowo, 2010). Kondisi ini mendorong tumbuh suburnya pertokoan, sarana hiburan, dan penginapan di sekitar alun-alun, termasuk di ruas Karrenweg. Karena dianggap sudah tidak tepat lagi, lambat laun nama Karrenweg menghilang dan nama Jalan Braga (Bragaweg) pun muncul sebagai penunjuk Karrenweg sesuai dengan nama Tonil Braga yang didirikan oleh Pieter Sijthoff pada tanggal 18 Juni 1882 (Kunto, 1984:295).
Sejak dicabutnya aturan pembatasan terhadap para pendatang yang akan berkunjung ke Bandung pada tahun 1852, suasana Bandung menjadi semakin ramai dan pergerakan roda perekonomian pun semakin cepat berputar. Kondisi ini jelas menjadi salah satu faktor penarik bagi kaum migran untuk datang dan mengadu nasib. Jumlah penduduk berkebangsaan Eropa di Bandung yang terus meningkat serta terus naiknya angka kedatangan wisatawan berkebangsaan Eropa mendorong Pemerintah Kotapraja (gemeente) Bandung dibawah pimpinan Walikota (Burgemeester) B. Coops (1917-1928) untuk membangun kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda atau De meest Europeesche Winkelstraat van Indie. Tujuannya, adalah menyediakan fasilitas belanja representatif khusus bagi warga Bandung keturunan Eropa yang tidak bersatu dengan penduduk pribumi serta sebagai kawasan wisata belanja yang diharapkan mampu menarik wisatawan datang ke Bandung (Kunto, 1984; Kunto, 1986; Suganda, 2008).
Pemerintah Gemeente Bandung memilih ruas Jalan Braga (Bragaweg) sebagai Kawasan Komersial. Untuk merealisasikan rencana tersebut, pemerintah Gemeente Bandung mengeluarkan aturan pembangunan di kawasan Braga yang merupakan bagian dari rencana penataan kawasan Cikapundung atau Tjikapoendoengplan.
Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimanakah perkembangan kawasan Braga, dari Karrenweg (Jalan Pedati) hingga menjadi ikon perdagangan kota Bandung tempo dulu serta mengapa Kawasan Braga yang dipilih pemerintah Kotapraja Bandung sebagai kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda (De meest Europeesche Winkelstraat van Indie), bukan kawasan lainnya di Bandung.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada tulisan ini diuraikan perjalanan Kawasan Braga sebagai ikon perdagangan kota Bandung tempo dulu. Selain itu, diuraikan pula hasil analisis keruangan terhadap kawasan Braga sebagai kawasan strategis untuk mengetahui alasan pemerintah kotapraja Bandung menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda (De meest Europeesche Winkelstraat van Indie).
KARRENWEG KE BRAGAWEG
Sampai pada tahun 1920, kota Bandung masih sunyi sepi sehingga belum pantas disebut “Paris Van Java”. Kehidupan di kota ini belum berdenyut 24 jam, hanya ramai di pagi hingga siang hari, sedikit lewat Ashar orang sudah bergegas pulang ke rumah (Kunto, 1996:21). Demikian pula halnya dengan jalan Braga yang menghubungkan Gudang Kopi milik Andries de Wilde (Gedung Papak) dengan Jalan Raya Pos masih sepi, karena rumah dan bangunan belum banyak berdiri. Di kiri kanan jalan, pohon-pohon besar tegak berdiri. Kondisi jalannya masih berupa jalan tanah yang berlumpur di musim penghujan dan berdebu di musim kemarau. Kendaraan yang selalu melewati jalan ini secara rutin adalah pedati atau gerobak penarik hasil perkebunan yang ditarik oleh kerbau. Hal inilah yang menjadi latar belakang mengapa jalan ini dinamakan Karrenweg atau Jalan Pedati. Pada malam hari, suasananya menyeramkan dan tidak ada seorang pun yang berani melewatinya karena takut menjadi korban perampokan atau pembegalan. Karena dianggap menyeramkan tersebut, Karrenweg juga dikenal dengan sebutan Jalan Culik. Namun, seiring dengan perkembangan kota dan meningkatnya peran serta fungsi Karrenweg dalam perekonomian masyarakat Bandung, sebutan Jalan Culik pun lambat laun ikut menghilang (Kunto, 1984; Suganda, 2008).
Sejak dibangunnya Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels, ujung selatan Karrenweg merupakan titik pertemuannya dengan Jalan Raya Pos. Hal ini menjadikan fungsi dan peran Karrenweg semakin meningkat, karena menjadi penghubung Jalan Raya Pos dengan Gedung Papak. Kondisi ini mendorong perekonomian di kawasan tersebut mulai berdenyut, toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan warga Bandung mulai didirikan dan terus meningkat ketika Residen Priangan, yaitu Residen Van der Moore memindahkan pusat pemerintahan Keresidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung pada tahun 1864 bersamaan dengan meletusnya gunung Gede.
Nama Karrenweg lama kelamaan dianggap tidak cocok sehingga diganti menjadi Bragaweg. Nama ini menurut catatan Haryoto Kunto (1984, 1986) diambil dari nama perkumpulan Tonil Braga (Toneelvereeniging Braga) yang didirikan oleh Asisten Residen Pieter Sijthoff pada tanggal 18 Juni 1882. Tonil Braga bermarkas dan melakukan pementasan rutinnya di Societet Concordia (sekarang Gedung Merdeka) dan sejak itu Karrenweg lebih dikenal dengan sebutan Bragaweg. Namun Her Suganda (2008) mencatat bahwa nama Bragaweg berasal dari kata Bragaderm yang artinya tempat melakukan pawai atau iring-iringan. Hal ini dikarenakan Bragaweg merupakan tempat orang Belanda dan Eropa lainnya berkumpul menikmati hiburan sambil memamerkan kekayaan dan kekuasaannya. Bagi orang Sunda, nama Braga berasal dari kata Ngabaraga artinya berjalan-jalan atau pelesir karena sepanjang jalan Braga merupakan tempatnya orang-orang Belanda dan Eropa lainnya berjalan-jalan sambil berbelanja barang-barang mewah yang dipajang di etalase toko berderet sepanjang jalan dari selatan ke utara.
Sebagai tempat belanja dan pelesir, kawasan Braga sudah dikenal sejak akhir abad ke 19. Para preangerplanter datang ke Bandung untuk berbelanja segala kebutuhan sehari-hari yang tidak ada di pedalaman sekaligus bersantai dan mencari hiburan menghabiskan akhir pekan.
Salah satu toko yang paling terkenal di kalangan preangerplanter, adalah toko de Vries. Toko ini didirikan oleh tuan M. Klass de Vries pada akhir abad ke 19 di tepi Jalan Raya Pos sebelah utara Alun-alun, kemudian pindah ke sebelah barat Hotel Homann tepat di mulut jalan Braga sebelah selatan. Hingga dekade pertama abad ke 20, Toko De Vries adalah yang terbesar dan terlengkap di antara toko-toko yang ada. Bangunan toko mengalami perubahan pada tahun 1909 yang dilakukan secara bertahap oleh Arsitek Edward Cuypers. Sejak didirikan Toko De Vries menjual aneka macam kebutuhan sehari-hari yang menjadi kebutuhan warga Bandung. Pelanggan utama toko ini adalah para pengusaha perkebunan di sekitar Bandung (Preangerplanter) yang selalu berbelanja di setiap akhir pekan. Selain itu, sampai tahun 1902, toko ini adalah satu-satunya toko yang menjual obat-obatan dengan pelanggan utama dokter Schattenker, satu-satunya dokter yang praktek di Bandung pada masa itu (Hutagalung dan Nugraha, 2008; Kunto, 1986).
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk keturunan Belanda dan Eropa lainnya di kota Bandung mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk menyediakan fasilitas belanja dan hiburan yang dikhususkan bagi mereka dan tidak bercampur dengan kaum pribumi. Fasilitas tersebut disediakan agar para keturunan Belanda dan Eropa tersebut betah tinggal di Bandung karena seolah berada di negerinya sendiri. Sekat antara pribumi dengan warga keturunan Belanda dan Eropa sebenarnya sudah tampak dalam pembangunan kota Bandung di awal pembentukannya sebagai ibukota kabupaten, kemudian meningkat menjadi Ibukota Karesidenan dan kemudian menjadi Gementee. Pembangunan untuk pemukiman warga keturunan Belanda dan Eropa ditempatkan bagian utara Bandung dengan batas Jalan Raya Pos, sedangkan kaum pribumi ditempatkan di wilayah bagian selatan kota Bandung.
Kawasan yang dipilih menjadi kawasan komersial khusus bagi warga kota keturunan Eropa, adalah kawasan Bragaweg. Sebagai bukti bahwa fasilitas hiburan dan belanja di kawasan Braga khusus bagi orang-orang keturunan Eropa adalah papan larangan di pintu masuk Bioskop Majestic yang berbunyi “verboden voor honden en inlander” (anjing dan orang pribumi dilarang masuk). Hal ini menunjukkan politik Apharteid dalam bentuk lain juga pernah terjadi di kota Bandung.
Gagasan membangun Braga menjadi kawasan De meest Europeesche Winkelstraat van Indie atau kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda berasal dari ambisi Burgemeester (Walikota) Bandung, yaitu B. Coops (1917-1928). Gagasan tersebut direalisasikan oleh dua teknisi di Gemeente Bandung, yaitu Ir. J.P. Thysse dan Ir E.H. de Roo. Hasilnya adalah penerapan aturan berkenaan dengan pembangunan bangunan toko di Bragaweg. Aturan tersebut menyebutkan bahwa setiap bangunan toko yang didirikan di kawasan Bragaweg harus berarsitektur gaya barat (Eropa) dengan sempadan jalan “Nol”.
Untuk membangun lingkungan yang serasi sebagai pusat kota, perancang Ir. H. Maclaine Pont pada tahun 1928 membuat rencana perbaikan kawasan di sekitar Sungai Cikapundung atau yang dikenal dengan nama Tjikapoendoengplan. Kawasan tersebut meliputi daerah yang dikelilingi oleh Groote postweg, Bragaweg, dan Banceuyweg. Kawasan tersebut diperuntukan sebagai kawasan pertokoan dan perkantoran. Namun dengan berbagai alasan rencana tersebut terhenti dan baru dilanjutkan oleh Ir. Thomas Kartsen pada tahun 1938 yang pengerjaannya dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun. Selain itu, dibangun pula jalan yang menghubungkan Oude Hospitalweg dengan Bragaweg, terus menuju arah barat sampai berakhir di pertigaan ujung Banceuyweg (sekarang jalan Suniaraja). Jalan-jalan tersebut merupakan penggalan dari rencana Gemeente Bandung membangun Tjikapoendoeng-boulevard yang bertujuan untuk membebaskan Bragaweg dari lalu lintas kendaraan. Tjikapoendoeng-boulevard letaknya sejajar Sungai Cikapundung menghubungkan Groote postweg dengan Landraadweg. Jalan ini merupakan penghubung bagian selatan dengan bagian utara Kota Bandung tanpa harus melewati jalan Braga atau Jalan Banceuy. Sayang, rencana prestisius tersebut tidak sampai terwujud, pemerintah kolonial Belanda baru menyelesaikan empat jembatan beton bertulang yang melintasi Sungai Cikapundung serta dua jalur jalan di bawah Viaduct kereta api dan dua ruas jalan yang menghubungkan Grootepostweg dengan ABC Straat. Setelah Indonesia merdeka, proyek tersebut tidak pernah mengemuka kembali padahal jika terwujud maka dapat mengatasi permasalahan lalu lintas di sekitar kawasan Braga.
SARANA PEREKONOMIAN DAN PERDAGANGAN DI KAWASAN BRAGA
Semenjak ditetapkan sebagai kawasan De meest Europeesche Winkelstraat van Indie atau kawasan belanja bergengsi di Hindia Belanda, Bragaweg mulai dipenuhi bangunan toko megah dan indah karya arsitek terkenal masa itu. Sesuai dengan kebijakan pemerintah, semua bangunan toko dibangun dengan arsitektur gaya Eropa. Sepanjang Jalan Braga berdiri gedung-gedung karya perancang terkenal, seperti Schoemaker bersaudara (RLA Schoemaker dan CP Wolf Schoemaker), AF Aalbers, Ed Cuypers dan sebagainya. Berdasarkan peruntukkannya, bangunan yang dibangun di Bragaweg tidak semuanya diperuntukkan sebagai toko atau ruang pamer, karena di antaranya diperuntukkan untuk bank dan kantor perusahaan dagang milik pemerintah atau swasta.
Hasil rancangan Schoemaker bersaudara di kawasan Braga, adalah Bioskop Majestic, Gedung Landmark, Gedung Center Point, Gedung Perusahaan Gas Negara dan Gedung Perusahaan Minyak Insulinde. Bangunan rancangan Ed Cuypers adalah bangunan Javasche Bank (sekarang gedung Bank Indonesia), bangunan baru toko de Vries. Bangunan hasil rancangan AF Aalbers, adalah gedung LKBN Antara dan gedung Bank De Ferste Neanderlandsch-Indie Spaarkas en Hypotheekbank (DENIS), kini gedung Bank Jabar Banten.
Masing-masing arsitek menampilkan ciri khas masing-masing pada gedung rancangannya. AF Aalbers menampilkan gaya arsitektur bangunan yang khas, yaitu dibangun dengan pola garis-garis dan sudut yang melingkar serta sebagai penanda atau penunjuk bangunan, AF. Aalbers juga menambahkan menara pada bangunan rancangannya. Gedung Bank DENIS atau sekarang gedung Bank Jabar Banten, sisi timur Societet Concordia atau sekarang Gedung Museum KAA, Gedung LKBN Antara, dan Hotel Savoy Homann merupakan gedung-gedung yang dirancang oleh arsitek AF. Aalbers. Gedung-gedung tersebut memiliki kemiripan bentuk, yaitu melingkar mengikuti sudut jalan di depannya.
Schoemaker bersaudara yang banyak merancang bangunan di Kota Bandung, termasuk bangunan toko dan kantor di Jalan Braga. Bangunan yang dirancangnya mempunyai kekhasan karena menggabungkan gaya arsitektur Eropa dengan corak bangunan tradisional Nusantara atau Indo-Europeeschen architectuur stij. Pada bangunan Bioskop Majestic, CP. Wolff Schoemaker memasang ornamen hias berupa kepala Batara Kala dalam ukuran besar dan dipasang di atas pintu masuk utama gedung Bioskop. Tidak jauh berbeda dengan Bioskop Majestic, bangunan toko buku dan percetakan Van Dorp & Co atau sekarang dikenal sebagai gedung Landmark merupakan gedung yang dilengkapi dengan ornamen kepala Batara Kala sebagai hiasan pada interior dan eksteriornya.
Bioskop Majestic, merupakan gedung bisokop yang terletak berdampingan dengan Museum Konferensi Asia Afrika (KAA). Bangunan ini dibangun pada tahun 1924 oleh Biro Arsitek Soenda berdasarkan rancangan Wolff Schoemaker. Awalnya bangunan ini bernama Concordia Bioscoop, baru pada tahun 1937 berganti nama menjadi Majestic Theatre. Pada zaman Belanda, Bioskop ini sangat terkenal dan merupakan Bioskop paling elit dan paling eksklusif di Kota Bandung karena hanya orang-orang keturunan Eropa yang boleh masuk. Hal ini terlihat dari tulisan “verboden voor honden en inlander” (dilarang masuk bagi anjing dan orang pribumi) di pintu masuk ruang pertunjukan. Bagian luar gedung Majestic berbeda dengan gedung lain di sekitarnya, bagian atasnya tampak mirip kaleng biskuit sehingga orang-orang menyebutnya blikken trommel. Keunikan lainnya dari gedung Bioskop Majestic, adalah terdapatnya simbol lokal pada bangunan tersebut, yaitu ornamen penghias gedung berbentuk kepala Batara Kala dengan ukuran cukup besar yang dipasang di atas pintu masuk utama. Pada masyarakat Indonesia, Batara kala dipercaya dapat mengusir pengaruh buruk yang mungkin datang atau sebagai tolak bala.
Bangunan lainnya di Jalan Braga hasil rancangan Schoemaker bersaudara adalah Gedung Perusahaan Gas Negara atau Nederlandsch Indische Gas Maatschappij (NIGM) dan Gedung Perusahaan Minyak Insulinde. Gedung Gas Negara hingga tahun 1920-an sempat dipergunakan sebagai Societeit Harmonie, sedang Perusahaan Gas Negara menempati gedung ini pada awal tahun 1930. Gedung Perusahaan minyak NV. Insulinde, adalah gedung yang letaknya persis di seberang barat Gedung Javasche Bank, tepat di pinggir utara rel kereta ppi. Pada awalnya gedung ini merupakan gedung Perusahaan Minyak NV. Insulinde, namun pada tahun 1927 gedung ini dibeli oleh Gemeente Bandung dan pada tahun 1928 diperluas dengan membuat bangunan tambahan dengan bentuk yang sama persis dengan bangunan lama. Setelah selesai, pada tahun 1930-an gedung ini dipergunakan sebagai kantor Karesidenan Priangan yang sebelumnya berkantor di Grootepostweg samping timur Hotel Homann.
Arsitek lainnya, yaitu Ed Cuypers merancang gedung Javasche Bank yang sekarang dipergunakan sebagai gedung Bank Indonesia. Posisinya berada di ujung utara Jalan Braga dan berseberangan dengan Gedung NV. Insulinde. Saat pertama kali dibangun pada tahun 1909, gedung Javasche Bank masih berupa bangunan sederhana dan menghadap ke arah utara, yaitu ke Kerklaan (sekarang jalan Perintis Kemerdekaan). Ketika Ed Cuypers menyelesaikan bangunan ini pada tahun 1918, Bangunan Javasche Bank jauh lebih besar dan lebih megah dibanding sebelumnya. Selain itu, gedung ini menghadap ke arah Jalan Braga. Arsitektur Gedung Javasche Bank merupakan arsitektur yang unik, karena merupakan arsitektur perpaduan gaya Eropa dengan gaya tradisional Indonesia. Ukiran yang merupakan ornamen tradisional dipadu-padankan dengan pilar penyangga yang besar dan kekar sehingga menjadikan bangunan ini indah dan megah (Hutagalung dan Nugraha, 2008:144-146).
POSISI STRATEGIS BRAGAWEG SEBAGAI KAWASAN KOMERSIAL
Secara geografis, suatu tempat di muka bumi disebut strategis jika mudah dijangkau, baik secara waktu tempuh maupun jarak untuk mencapai lokasi tersebut. Selain itu, strategis tidaknya suatu kawasan juga dilihat dari daya dukung wilayah sekitar terhadap kawasan tersebut dan sebaliknya pengaruhnya terhadap kawasan sekitar. Bagi lokasi perdagangan, keterjangkauan wilayah akan menentukan tingkat keberhasilan lokasi tersebut sebagai lokasi strategis secara ekonomi. Sebuah lokasi perdagangan yang strategis, adalah mudah dijangkau oleh semua pelaku perdagangan, yaitu pedagang dan pembeli.
Berdasarkan konsep lokasi strategis tersebut, penataan kawasan di sekitar Alun-alun Bandung dan stasiun kereta api ditetapkan sebagai kawasan bisnis atau perdagangan, termasuk di dalamnya kawasan Braga yang ditetapkan sebagai kawasan De meest Europeesche Winkelstraat van Indie oleh pemerintah kotapraja (Gemeente) Bandung. Bila melihat kondisi tersebut, maka penetapan kawasan Braga sebagai kawasan perdagangan khusus bagi keturunan Eropa didasarkan atas beberapa faktor pendukung, yaitu :
1. Kawasan Braga berada di pusat Kota Bandung, dimana kawasan tersebut menghubungkan Jalan Raya Pos dengan wilayah Bandung bagian utara yang merupakan kawasan permukiman warga keturunan Eropa. Sehingga mereka dapat dengan mudah mencapainya.
- Keberadaan kawasan Braga di tengah kota juga memudahkan para preangerplanter (pengusaha perkebunan) yang tersebar di berbagai perkebunan sekitar Bandung untuk mencapainya. Mereka biasanya datang ke Kawasan Braga untuk berbelanja barang kebutuhan sehari-hari dan mencari hiburan.
- Jauh sebelum ditetapkannya Braga sebagai kawasan pelesir khusus, kawasan ini sudah menjadi tempat berkumpulnya para para Preangerplanter (pengusaha perkebunan). Mereka biasanya berkumpul di Societet Concordia (gedung Merdeka, sekarang).
- Kawasan Braga lokasinya tidak jauh dari stasiun kereta api dan Jalan Raya Pos yang merupakan akses penting bagi lalu lintas barang dan jasa, serta para pelancong yang datang dari luar kota.
Lokasi strategis Braga juga didukung oleh jaminan keamanan dan kenyamanan bari pengunjungnya. Posisinya yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung di Selatan dan Kotapraja Bandung di Utara menjadikan kawasan ini terlindungi dari segala gangguan keamanan yang mungkin muncul karena konsentrasi pihak keamanan akan difokuskan untuk menjaga keamanan di sekitar dua kantor pemerintahan Bandung.
Sepanjang Jalan Braga banyak terdapat toko-toko yang menyediakan semua barang-barang kebutuhan masyarakat Eropa di Bandung, berupa sandang, pangan, dan kebutuhan lainnya yang bersifat tersier seperti toko perhiasan, kamera, perlengkapan kereta kuda, dan agen kendaraan bermotor. Toko-toko tersebut menjual hasil produk sendiri, dan sebagai cabang atau perwakilan toko sejenis yang berpusat di Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa segaa kebutuhan warga kota dapat diperoleh di Braga.
Toko yang pertama didirikan di Kawasan Braga, adalah toko senjata api milik C.A. Hellerman yang didirikan pada tahun 1894. Selain menjual senjata, toko ini juga menjual bermacam-macam kereta kuda, sepeda dan sebagai bengkel perbaikan senjata. Toko berikutnya, adalah toko milik “NV. Handelmy-C.M. Luyks” yang didirikan pada tahun 1898 yang menjual kamera, alat kantor, gramophones, meja bilyar dan terakhir menjadi Toko Provisien en Dranken (P en D) terbesar di Bandung. Agen mobil dan pusat perawatannya yang terbesar di Bandung, yaitu “Fuch & Rens” didirikan pada tahun 1919 di Kawasan Braga. Perusahaan ini merakit mobil merk Packard, Chrysler, De Soto, Plymouth, Renault dan vracht-auto merek Fargo. Ruang pamer mobil ini menjadi tujuan utama para Prangerplanter yang bermaksud mengganti mobil lama dengan yang lebih baru (Kunto, 1984: 306-307).
Toko busana yang terkenal di jalan Braga adalah Toko Mode Au Bon Marche Modemagazijn. Toko Au Bon Marche dibuka oleh A. Makkinga pada tahun 1913. Pada masa kejayaannya, toko ini merupakan butik bagi busana-busana terbaru dari pusat mode Paris. Toko busana lainnya yang terkenal, adalah NV. Onderling Belang yang merupakan cabang ke dua dari toko sentra mode di Amsterdam, cabang pertama dibuka di Surabaya. Toko ini berada persis di seberang Toko Mode Au Bon Marche yang dibuka pada tahun 1910-an dan menjadi pesaing utama toko Au Bon Marche. Berbeda dengan Au Bon Marche yang menawarkan busana terbaru asal Paris, NV. Onderling Belang menawarkan mode busana asal Amsterdam dengan harga yang relatif lebih murah dibanding dengan harga Au Bon Marche (Hutagalung dan Nugraha, 2008: 68-75). Setelah kemerdekaan, toko mode NV. Orderling Belang berganti nama menjadi toko Sarinah dengan barang dagangan utamanya adalah busana dan kain Batik. Dewasa ini, kondisi kedua bangunan bekas toko mode tersebut tidak terawat dan rusak berat yang jika dibiarkan akan semakin merusak struktur bangunan.
PENUTUP
Ketika Daendels membangun Jalan Raya Pos, Bandung hanyalah sebuah kampung kecil di tengah belantara tropik pulau Jawa dan Daendels memiliki harapan besar terhadap kota ini, “Zorg, dat als ik terug komhier een stad is gebouwd !” (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun). Keinginan Daendels tersebut mendorong para pengambil kebijakan di tatar Bandung masa itu untuk melakukan pembangunan berbagai fasilitas pendukung perkotaan dan gedung-gedung dengan berbagai gaya arsitektur berdiri megah menghiasi wajah Kota Bandung.
Penentuan Braga sebagai kawasan belanja khusus bagi warga keturunan Eropa telah merubah wajah Karrenweg dari sebuah jalan tanah yang becek di musim penghujan menjadi kawasan belanja paling terkenal di Bandung tempo dulu, terutama akan kualitas barang yang dijajakannya. Selain itu, gedung perkantoran serta ruang usaha dengan berbagai gaya arsitektur barat berdiri megah menghiasi kiri kanan jalan dan sebagian di antaranya masih bisa dinikmati hingga saat ini.
Keberadaan gedung-gedung tua di sepanjang Jalan Braga merupakan peninggalan yang sangat bernilai bagi generasi berikut, karena gedung-gedung tersebut merupakan bukti perjalanan sejarah bangsa. Banyak cerita suka dan duka perjalanan bangsa ini yang tersimpan di balik megahnya gedung tua. Selain itu, keberadaan gedung-gedung tua dengan berbagai gaya arsitektur yang menawan dan memperlihatkan keindahan serta kemegahan dapat menjadi oase di tengah seragamnya gaya arsitektur bangunan di perkotaan.
Kawasan Braga dengan sebagian besar bangunannya masih merupakan bangunan lama dan kebesaran nama yang pernah disandangnya merupakan potensi yang dapat mendatangkan wisatawan, terutama wisatawan dengan minat khusus yaitu wisata nostalgia atau wisata sejarah, wisata belanja, wisata kuliner dan wisata pendidikan. Banyak wisatawan yang datang ke Braga, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing tujuannya ingin menikmati keindahan dan kemegahan bangunan di kawasan yang dahulunya pernah menyandang nama besar sebagai kawasan belanja eksklusif khusus bagi warga kota keturunan Eropa. Selain itu, tidak sedikit mahasiswa dan pelajar yang datang ke Kawasan Braga untuk mempelajari arsitektur gedung tua di sepanjang jalan tersebut. Kondisi ini merupakan potensi yang dimiliki Kawasan Braga dan tidak dimiliki kawasan lainnya di Bandung, sehingga perlu pemeliharaan bangunan-bangunan tua agar tidak hancur dimakan usia serta perlunya penggalian berbagai ide kreatif yang sesuai dengan kondisi Braga.
Sebagai akses ke utara Bandung dari kawasan pusat kota menjadikan ruas jalan Braga sebagai kawasan yang padat. Penataan tata lalu lintas di kawasan ini perlu mendapat perhatian sehingga dapat dijadikan sebagai kawasan Pedestarian yang memberi kenyamanan kepada pejalan kaki dalam menikmati keindahan dan kemegahan gedung-gedung tua sepanjang Braga yang berdiri kokoh menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Bandung. Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk datang ke Braga. Jika harapan tersebut dapat terwujud maka julukan sebagai Jalan Intelek (Jalan Kelas Utama) akan kembali melekat pada Jalan Braga serta kembali menjadi ikon bagi wisata belanja dan wisata kota tua kebanggan Bandung.
Daftar Pustaka
Affandie, R.M.A., 1969. Bandung Baheula 1-2. Bandung : Guna Utama
Daldjoeni, N. 1988. Geografi Kota dan Desa. Bandung : Alumni.
Harastoeti DH. 2010. “Braga dan Permasalahannya” Makalah pada Seminar Pelestarian Kawasan Kota Lama Braga. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Bandung (20-04-2010)
Hardjasaputra, A.Sobana. 2000. Bandung dalam : Lubis, N.H., dkk. (2000) Sejarah Kota-kota lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint.
Hutagalung, Ridwan dan Nugraha, T. 2008. Braga, Jantung Parijs van Java. Jakarta : Ka Bandung.
Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandung Tempo Doeloe. Bandung : Granesia
Kunto, Haryotio 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung : Granesia
Kunto, Haryoto. 1996. Ramadhan di Priangan tempo doeleoe. Bandung : Granesia
Padmadinata, Tjetje. H. 2010. Identitas Bandung. Bandung : Rumah Baca Buku Sunda
Rosidi, Ajip. ed. 2000. Ensiklopedi Sunda . Jakarta : Pustaka Jaya
Suganda, Her. 2008. Jendela Bandung, pengalaman bersama Kompas. Jakarta : Kompas.
Sumaatmadja, Nursid. 1988. Studi Geografi, Suatu pendekatan dan Analisa Keruangan.. Bandung : Alumni.
Sunarwibowo, Anton. 2010. “Revitalisasi Kawasan Jalan Braga sebagai Kawasan Strategis Kota Bandung”. Makalah pada Seminar Pelestarian Kawasan Kota Lama Braga. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Bandung (20-04-2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar